Timah ditangkap petugas imigresen di Sabah, dianggap berada di wilayah Malaysia tanpa dokumen yang sah, kemudian dideportasi ke Indonesia. Pemerintah Malaysia menyebut orang-orang seperti Timah, yang jumlahnya mencapai ribuan orang, sebagai Pendatang Asing Tanpa Ijin (PATI).
Pada waktu itu, Timah tidak membayangkan bahwa dia akan bermukim di Sabah untuk waktu yang panjang. Sejak menginjakkan kaki di Kota Kinabalu, dia tak pernah lagi menjenguk kampungnya. Sebagaimana banyak perantau suku Bugis lainnya, dia menganggap Sabah sebagai kampung halaman kedua. Lebih dari 30 tahun bermukim di Sabah, Timah bahkan memiliki bapak angkat orang Filipina dan menikah dengan perantau asal Filipina yang –sebagaimana Timah- juga tidak memiliki dokumen.
Tanpa akta kelahiran, tanpa kartu identitas apapun, anak-anak kaum migran tak tersentuh oleh layanan kesehatan dan pendidikan. Tidak mungkin masuk sekolah kerajaan (sekolah negeri), di kemudian hari mereka akan menjadi remaja tanggung buta huruf yang terpaksa menerima jenis-jenis pekerjaan berat yang upahnya rendah, jam kerjanya panjang, dan tanpa jaminan sosial apapun.
Lama tak pulang ke kampung, lama tak terdengar kabarnya, keluarga di Pinrang mengira Timah sudah meninggal. Untunglah, salah seorang keponakan terus berusaha mencari tahu keberadaan Timah. Sesudah upaya pencarian yang panjang, diawali dengan pencarian via Facebook, informasi awal bermunculan dan pertolongan datang menghampiri. Singkat cerita, Timah dan kedua anaknya diketahui berada di PTS Manggatal.
Kisah Timah adalah bagian dari migrasi irregular (irregular migration) perantau asal Indonesia, terutama dari Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur, ke Sabah. Migrasi ini sudah berumur panjang dan berkelindan dengan permintaan akan tenaga kerja murah. Kehidupan ekonomi Sabah jelas ditopang oleh, bahkan bergantung pada, penjaga toko dan kedai makanan, buruh bangunan, dan buruh perkebunan sawit; yang sebagian besar adalah migran yang tidak berdokumen.
baca selengkapnya kisah Timah di migranberdaulat.org